Garam dan Telaga

23 Mei 2011 0 komentar
Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa buang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkan dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkan garam itu kedalam gelas, lalu diadukanya perlahan, “Coba, minum ini, dan katakana bagaimana rasanya… “, ujar Pak tua itu.

“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.

Pak tua itu, sedikit tersenyum. Ia, mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan di dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka di tepi telaga yang tenang itu.

Pak tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk iar, Pak tua berkata lagi,  “Bagaimana rasanya?”.
“Segar.”, sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”,  Tanya pak tua lagi. “Tidak”, jawab si anak muda.

Dengan bijak, pak tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan,bresimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adlah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan,akan sangat tergangung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Pak tua itu kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu serpi gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahkanya menjadi kesegaran dan kebahagian.”

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajat hari itu. Dan pak tua, si orang bajik itu, kembali menyimpan “segenggam garan”, untuk anak muda yang lain, yang sering dating padanya membawa keresahan jiwa.

0 komentar:

Posting Komentar